aqiqah tanggung jawab siapa

 

Ketika hendak akan mengaqiqahi anak ke lembaga jasa aqiqah mungkin diantara sahabat aqiqah ada yang bertanya-tanya. Sebetulnya dalam islam itu  itu merupakan tanggung jawab siapa yah ? Mengenai hal ini ulama berselisih pendapat mengenai pihak yang bertanggung jawab

Pendapat Pertama (  Tanggung Jawab Siapa ? )

Yang bertanggung jawab untuk melaksanakan  adalah bapak si bayi. Anggota keluarga lainnya selain bapak tidak bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Ini adalah pendapat para ulama penganut mazhab Maliki dan Hanbali. Para ulama penganut mazhab Hanbali juga mengatakan, “Apabila si bapak sudah meninggal dunia sementara bayinya masih berada dalam kandungan, ibunya dapat mewakili bapak (suami) untuk menginya.” (Al Muntaqa 4/199, Kasysyaful Qana 3/24, Asy Syarhul Mumti 7/536)

Al Murdawi mengatakan ,”Tidak boleh melaksanakan  selain bapak menurut pendapat yang benar dalam mazhab ini, dan difatwakan secara tertulis oleh mayoritas sejawat kami.” (Al Inshaf 4/112)

Dalilnya adalah hadits ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya, “Barang siapa yang mendapatkan anak, lalu ingin menyembelihkan hewan untuknya, silahkan dilakukan.”

Dinukilkan dari Imam Ahmad bahwa  menjadi tanggung jawab bapak. Ismail bin Said asy Syalinji mengatakan : Aku bertanya kepada Ahmad tentang seseorang yang diberitahu oleh bapaknya bahwa dia belum menginya. Bolehkah orang itu mengi dirinya sendiri ? Beliau menjawabm”Itu adalah tanggung  jawab bapak.” (Al Muntaqa 4/199, Mawahib al Jalil 4/390)

Pendapat Kedua (  Tanggung Jawab Siapa ? )

Apabila si bayi memiliki harta maka biaya  diambilkan dari hartanya. Jika si bayi tidak memiliki harta dan masih memiliki bapak, maka nya menjadi tanggung jawab bapak. Kalau bapaknya sudah menigggal dunia dan masih memiliki ibu, maka  menjadi tanggung jawab ibu. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Hazm (Al Muhalla 6/235)

Pendapat Ketiga (  Tanggung Jawab Siapa ? )

untuk bayi menjadi tanggung jawab orang yang bertanggung jawab untuk memberi nafkah kepada si bayi dan biaya diambil dari harta orang tersebut bukan harta si bayi. Ini adalah pendapat mazhab Syafi’i. Al Mawardi mengatakan, “Orang yang bertanggung jawab atas pelaksanaan dan penyembelihan hewan  adalah orang yang bertanggung jawab untuk memberi nafkah kepada si bayi seperti bapak, kakek, ibu atau nenek. Sebab, biaya  termasuk dalam lingkup nafkah yang harus dikeluarkan untuk si bayi walaupun bayi itu kaya karena memiliki warisan, tetapi tidak boleh diambil dari hartanya.

Bapak atau orang yang berkedudukan sebagai orang yang bertanggung jawab atas nafkah si bayi itulah yang disunnahkan untuk melakukan ritual penyembelihan hewan . Sama halnya seperti apabila si bayi tidak memiliki harta. Gugurnya kewajiban memberi nafkah tidak dapat menggugurkan sunnah . Jika si bapak tidak mampu melaksanakan , pelaksanaannya boleh dilakukan saat dia mampu.” (Al Hawi 15/129. Lihat Al Majmu 8/342, Tharhut Tatsrib 5/207, Mughnil Muhtaj 4/293)

Pendapat para ulama penganut mazhab Syafi’I ini menyebabkan mereka menakwilkan hadis Rasulullah bahwa beliau mengi Hasan dan Husein dengan beberapa interpretasi. An Nawawi menyebutkannya dengan mengatakan,”Para sejawat kami mengatakan bahwa hadis tersebut ditakwilkan bahwa Rasulullah memerintahkan bapak mereka berdua untuk melaksanakan . Atau, beliau memberinya uang untuk biaya pelaksanaannya. Atau bisa jadi kedua orangtuanya saat itu tidak sanggup melakukannya, sehingga nafkah kedua anak itu ditanggung oleh kakek mereka yang dalam hal ini adalah Rasulullah.” (Al Majmu 8/342, Lhat Fathul Bari 12/13)

Al Hafizh al Iraqi mengatakan, “Kemungkinan yang lain adalah bahwa Rasulullah melakukannya secara sukarela dengan izin kedua orangtuanya. Atau bisa juga itu merupakan kekhususan beliau beliau boleh menyumbangkan sesuatu kepada siapa saja yang beliau kehendaki, seperti beliau menyembelih hewan qurban untuk umat beliau yang tidak mampu. Ini adalah kekhususan beliau sebagai nabi.” (Tharhut Tatsrib 5/207)

Pendapat Keempat (  Tanggung Jawab Siapa ? )

Yang bertanggung jawab untuk melaksanakan  untuk bayi adalah selain bapak dan orang yang tidak memiliki tanggung jawab untuk memberi nafkah. Asy Syaukani mengatakan yang mengi boleh orang lain, seperti kerabat, handai taulan dan lain sebagainya.

Dari semua pendapat diatas Dr Husamuddin mengatakan, “ Siapa saja boleh mengi bayi. Orang yang paling berhak mengi bayi adalah bapaknya atau orang yang bertanggung jawab atas nafkah si bayi. Apabila salah seorang karib-kerabat ingin menginya, maka itu tidak apa apa. Jika kakek, saudara atau paman ingin melakukannya walaupun nafkah si bayi bukan menjadi tanggung jawabnya, apa yang dilakukannya itu insya Allah sesuai dengan sunnah.”

Demikianlah apa yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat bermanfaat