Mahar dalam pernikahan

Mahar atau mas kawin merupakan suatu kewajiban dalam pernikahan yang harus dipenuhi untuk melakukan ijab kabul.

Nilai mahar tidak ditentukan oleh suatu besaran nominal yang wajib harus di keluarkan oleh pengantin pria, namun harus diadakan sekecil apapun nilainya.

Baik dalam pernikahan secara Adat, nikah siri atau berdasarkan hukum, mahar sudah seperti menjadi hukum wajib.

Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an:

“Berikanlah maskawin kepada perempuan-perempuan sebagai pemberian dengan penuh keikhlasan.” (QS. An-Nisa’ : 4)

Adapun beberapa jenis-jenis mahar pernikahan menurut fiqih, yaitu (1) mahar musamma; dan (2) mahar mitsil.

Mahar musamma adalah mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.

Atau mahar yang dinyatakan secara tegas kadarnya pada waktu akad nikah.

Jumhur (mayoritas) ulama sepakat mahar musamma ini wajib diberikan kepada istri secara penuh apabila keduanya telah melakukan hubungan suami-istri.

Atau jika salah satunya meninggal dunia setelah berhubungan.

Sementara jika terjadi perceraian sebelum terjadinya hubungan suami-istri, mahar musamma boleh dibayarkan separuhnya.

Sementara mahar mitsil adalah mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau sesudah akad nikah.

Karena itu untuk menentukan besaran kadar mahar, diukur dengan nilai atau besaran yang disesuaikan dengan ukuran kepantasan sesuai kebiasaan pihak keluarga calon istri.

Misalnya seperti diukur sepadan dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, atau seperti kebiasaan di lingkungan rumah atau komunitasnya.

Atau bisa juga dengan memperhatikan status sosial, aspek kecantikan, dan sebagainya.

Dalam hal kesepadanan dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, ulama fiqh berbeda pendapat.

Menurut mazhab Hanafi, mahar mitsil ini mengikuti standar maharnya dari keluarga ayahnya, saudara perempuan ayah, dan seterusnya. Mazhab ini melewatkan standar mahar dari pihak keluarga ibu.

Jika tidak ditemukan dalam keluarga ayahnya, maka dicari dari lingkungan sosial ayahnya.

Sedangkan mazhab Hanbali menetapkan standar dari keduanya, yakni pihak keluarg ayah dan ibunya.

Mazhab Syafi’i sendiri berpegangan pada keluarga terdekat dan memprioritaskan keluarga ayah.

Apabila tidak ditemukan dalam keluarga ayah dapat dialihkan ke keluarga ibu. Dan jika tidak ditemukan juga, maka bisa disetarakan dengan perempuan yang ada di lingkungannya.

Sementara mazhab Maliki menyesuaikan dari lingkungan keluarga terdekatnya dengan memperhatikan beberapa kesamaan dan kemiripan pada keunggulan yang dimiliki wanita, seperti kecantikan, latar belakang pendidikan, atau kekayaannya.

Apabila terjadi perselisihan kedua belah pihak dalam penentuan mahar mitsil, maka penyelesaiannya dapat melalui jalur pengadilan dan putusan pemerintah. Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 37 yang berbunyi:

“Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.”

Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan lain, yaitu:

  1. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah menggauli istrinya, atau meninggal sebelum bercampur.
  2. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami sudah menggauli istrinya, dan ternyata nikahnya tidak sah.

Nikah yang tidak disebutkan atau ditetapkan maharnya dalam fiqh disebut sebagai “nikah tafwidh”. Hukumnya diperbolehkan berdasarkan ayat al-Qur’an:

“Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kalian, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kalian bercampur dengan mereka dan sebelum menentukan maharnya.” (QS. Al-Baqarah: 236)

Ayat ini mengandung hukum bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli sementara mahar belum ditentukan. Karena itulah, istri berhak menerima mahar mitsil. Hal ini juga sebagaimana telah diatur dalam KHI pasal 35 poin (3) yang menyatakan:

“Apabila perceraian terjadi qabla al-dukhul (sebelum digauli) tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.”

Oleh Program Studi Hukum Keluarga UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten (Dr. H. Ahmad Sanusi, MA., Dede Sudirja, M.Si., Ahmad Harisul Miftah, S.Ag., M.Si.).